Senin, 01 Juni 2009

Pembuktian Sains tentang keberadaan Tuhan

Sibuk membahas keberadaan/eksistensi Tuhan? Meragu? Menolak? Menerima?
Setiap orang sah-sah saja menganggap bahwa Tuhan ada atau tidak ada,
berikut seluruh implementasi sikap pilihannya itu. Semuanya kembali pada
pemahaman kita tentang konsep *eksistensi* itu sendiri, yang kerap tidak
cukup hanya dengan mengandalkan neuron belaka.
__________________________________________________ ___________
— Professing to be wise, they became fools… —

“Mari kita bahas permasalahan besar dalam sains, yakni tentang Tuhan”
kata seorang profesor filsafat yang atheis di muka kelas. Kemudian dia
meminta seorang mahasiswa baru maju ke depan kelas. “Kamu beragama,
bukan ?”

“Ya, pak.”

“Jadi, kamu percaya pada Tuhan ?”

“Tentu saja.”

“Apakah Tuhan baik ?”

“Jelas! Tuhan baik.”

“Apakah Tuhan maha kuasa? Dapatkah Tuhan melakukan segala sesuatu ?”

“Ya.”

“Coba yang satu ini. Misalkan ada seseorang sakit di sekitar sini dan
kamu bisa menyembuhkannya. Bersediakah kamu menolongnya ?”

“Ya, pak, saya bersedia.”

“Maka, kamu baik!”

“Saya tidak mengatakan demikian.”

“Mengapa tidak? Kamu bersedia menolong orang sakit dan menyembuhkannya
jika kamu bisa… Kebanyakan orang pun akan melakukannya jika bisa…
tetapi kenapa Tuhan tidak.”

[Tiada jawaban]

“Dia tidak, bukan? Saudara saya adalah seorang beragama yang meninggal
karena kanker meskipun dia sudah berdoa meminta Tuhan menyembuhkannya.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan baik? Dapatkah kamu menjawabnya?”

[Tiada jawaban]

“Kamu tidak bisa, bukan ?”

Sang profesor meneguk air dari gelas di mejanya untuk memberi kesempatan
pada sang mahasiswa menenangkan diri. “Mari kita lanjutkan, anak muda.
Apakah Tuhan itu baik?”

“Ng… Ya.”

“Apakah setan itu baik ?”

“Tidak.”

“Darimana datangnya setan ?”

Sang mahasiswa tergagap. “Dari… Tuhan…”

“Tuhan menciptakan setan, bukan?” Sang profesor menyeringai pada seluruh
mahasiswa. “Rasanya kita akan mendapatkan banyak kegembiraan dalam
semester ini, tuan-tuan dan nona-nona.” Dia kembali ke mahasiswa di
depan kelas. “Katakan, adakah kejahatan di dunia ?”

“Ya, pak.”

“Kejahatan ada di mana-mana, bukan ? Apakah Tuhan menciptakan
segala-galanya ?”

“Ya.”

“Jadi, siapa yang menciptakan kejahatan ?

[Tiada jawaban]

“Adakah penyakit di dunia ini ? Pelanggaran susila ? Kebencian ?
Kekerasan ? Segala hal mengerikan, apakah semuanya ada di dunia ini ?”

Sang mahasiswa merasakan kegelisahan merayapi kakinya. “Ya.”

“Siapa yang menciptakan ? “

[Tiada jawaban]

Sang profesor tiba-tiba berteriak pada sang mahasiswa,
“SIAPA YANG MENCIPTAKAN SEMUA ITU? COBA KATAKAN PADA SAYA !!!”

Sang profesor memandang tajam wajah sang mahasiswa. Dengan suara dalam
dia berkata,
“Tuhan yang menciptakan semua kejahatan, bukan?”

[Tiada jawaban]

Sang mahasiswa berusaha menggapai-gapai pegangan, matanya mencari-cari,
namun gagal.

“Katakan”, sambung sang profesor, “Bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan
baik jika Dia menciptakan kejahatan sepanjang waktu? Semua kebencian,
kebrutalan, kesakitan, siksaan, kematian, keburukan, dan penderitaan
diciptakan Tuhan yang baik ini di seluruh dunia, bukan, anak muda?”

[Tiada jawaban]

“Tidakkah kamu melihatnya di seluruh dunia?”

[Diam]

“Tidakkah ?” tanya sang profesor menatap wajah sang mahasiswa sambil
mendesis,

“Apakah Tuhan baik ?”

[Tiada jawaban]

“Apakah kamu percaya Tuhan, nak ?”

Jawaban sang mahasiswa mengecewakannya.
“Ya, profesor. Saya percaya.”

Sang profesor menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah sedih.
“Sains mengatakan bahwa kamu memiliki panca indra yang kamu gunakan
untuk mengidentifikasi dan mengamati dunia sekitar kamu.
Apakah kamu sudah melakukannya ?”

“Belum, pak. Saya belum pernah melihat Tuhan.”

“Maka, katakan pada kami, pernahkah kamu mendengar Tuhan ?”

“Tidak, pak. Saya belum pernah.”

“Pernahkah kamu merasakan Tuhan, mengecap Tuhanmu atau membaui-Nya ?
Intinya, apakah kamu memiliki tanggapan indra apapun tentang Tuhan ?”

[Tiada jawaban]

“Jawablah.”

“Tidak, pak, saya khawatir saya belum pernah.”

“Kamu KHAWATIR… kamu belum ?”

“Belum, pak.”

“Tetapi kamu tetap mempercayai-Nya ?”

“…Ya…”

“Itu adalah KEPERCAYAAN!” sang profesor tersenyum arif pada sang
mahasiswa.

“Sesuai kaidah empiris, mampu uji, protokol yang dapat didemonstrasikan,
sains menyatakan bahwa Tuhanmu tidak eksis.
Apa pendapatmu tentang hal itu, nak ?
Dimanakah Tuhanmu sekarang ?”

[Tiada jawaban]

“Silakan duduk.”

Sang mahasiswa duduk. Kalah.

Seorang mahasiswa lain mengangkat tangannya. “Profesor, bolehkah saya
berbicara ?”

Sang profesor berbalik dan tersenyum.
“Ah, seorang garda depan agama lainnya !”
“Mari, anak muda. Silakan kemukakan kearifan yang patut bagi rekan-rekan
anda.”

Sang mahasiswa memandang sekeliling kelas lalu berkata pada sang
profesor.

“Anda sudah menyatakan hal-hal yang sangat menarik, pak. Sekarang saya
mempunyai sebuah pertanyaan untuk anda. Adakah sesuatu yang disebut
panas ?”

“Ya”, sahut sang profesor. “Panas itu ada.”

“Adakah sesuatu yang disebut dingin ?”

“Ya, dingin juga ada.”

“Tidak, pak! Itu tidak ada !”

Seringai sang profesor membeku. Ruang kelas sekonyong-konyong menjadi
sangat dingin.

Sang mahasiswa melanjutkan. “Anda bisa mendapatkan macam-macam panas,
bahkan lebih panas, super-panas, mega-panas, agak panas, sedikit panas,
atau tidak panas, tetapi kita tidak memiliki sesuatu yang disebut
*dingin*.

Kita dapat mencapai 458 derajat di bawah nol, dimana tidak ada panas,
tetapi kita tidak bisa melampauinya lebih jauh lagi setelah itu. Tidak
ada sesuatu pun yang disebut dingin, kecuali jika kita bisa mencapai
suhu yang lebih dingin dari minus 458.
Anda lihat, pak, dingin hanyalah SEBUAH KATA yang kita gunakan untuk
MENGGAMBARKAN tentang KETIADAAN panas. Kita tidak bisa mengukur dingin.
Panas dapat kita ukur dalam satuan termal karena panas adalah energi.
Dingin bukan lawan panas, pak, melainkan ketiadaan panas.”

[Diam]
Sebuah pin terjatuh berdenting di suatu tempat dalam kelas.

“Apakah ada sesuatu yang disebut gelap, profesor ?” tanya sang mahasiswa
lagi.

“Itu pertanyaan bodoh, nak. Apakah malam itu jika bukan gelap ? Apa
maksudmu ?”

“Jadi, anda mengatakan ada sesuatu yang disebut sebagai gelap ?”

“Ya…”

“Anda salah lagi, pak! Gelap bukanlah sesuatu, melainkan ketiadaan
sesuatu.

Anda bisa mendapatkan cahaya buram, cahaya normal, cahaya terang, cahaya
menyilaukan, tetapi jika anda tidak mendapatkan cahaya secara
berkesinambungan, anda tidak mendapatkan apa-apa, dan itu disebut gelap,
bukan ? Itulah pengertian yang kita gunakan untuk menggambarkan kata
tersebut. Pada kenyataannya, gelap tidak ada. Jika ada, seharusnya anda
bisa membuat gelap menjadi lebih gelap lagi.”

Menahan diri, sang profesor tersenyum pada anak muda lancang
dihadapannya.

Ini benar-benar menjadi semester yang bagus. “Maukah anda menjelaskan
pada kami maksud anda, anak muda ?”

“Baik, profesor. Maksud saya adalah filosofi anda sudah cacat sejak awal
sehingga kesimpulan anda sudah pasti rancu”.

Sang profesor menjadi berang. “Cacat ? Lancang benar anda !”

“Pak, bolehkah saya menjelaskan maksud saya ?”

Seisi kelas memasang telinga.

“Penjelasan… oh, penjelasan…”
Sang profesor dengan sangat mengagumkan berhasil mengendalikan diri.
Sekonyong-konyong dia bagaikan keramahan itu sendiri. Dia melambaikan
tangannya untuk menenangkan kelas agar sang mahasiswa dapat melanjutkan.

“Anda menggunakan premis tentang pasangan” sang mahasiswa menjelaskan.
“Sebagai contoh, adanya hidup dan adanya mati; Tuhan baik dan Tuhan
jahat”.

Anda memandang konsep ketuhanan sebagai sesuatu yang terbatas, sesuatu
yang dapat diukur. Pak, sains bahkan tidak bisa menjelaskan pikiran. Itu
menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah terlihat, banyak
yang tidak memahaminya. Memandang kematian sebagai lawan kehidupan
adalah pengabaian fakta bahwa kematian tidak bisa eksis sebagai sesuatu
secara substantif. Kematian bukanlah lawan kehidupan, melainkan
ketiadaan kehidupan.”

Sang mahasiswa mengangkat sebuah surat kabar dari meja rekannya. “Ini
adalah salah satu tabloid paling menjijikkan di negeri ini, profesor.
Adakah sesuatu yang disebut ketidaksenonohan ?”

“Tentu saja ada, sekarang…”

“Salah lagi, pak!
Anda tahu, ketidaksenonohan adalah semata-mata ketiadaan moralitas.
Adakah yang disebut ketidakadilan ? Tidak !
Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Adakah yang disebut kejahatan
?”
sang mahasiswa berhenti sejenak. “Bukankah kejahatan adalah ketiadaan
kebaikan ?”

Wajah sang profesor berubah merah. Dia sangat marah hingga sejenak
kehilangan kata-kata.

Sang mahasiswa melanjutkan, “Jika ada kejahatan di dunia, profesor, dan
kita sepakat tentang itu, maka Tuhan, jika Dia eksis, tentu akan
menyempurnakan pekerjaan-Nya melalui agen kejahatan tersebut. Pekerjaan
apakah yang Tuhan sempurnakan dengannya? Kitab suci menyatakan bahwa tiap
manusia, sesuai kebebasan keinginan sendiri, memilih kebaikan daripada
kejahatan.”

Sang profesor terhenyak. “Selaku ilmuwan filsafat, saya tidak memandang
permasalahan ini ada kaitannya dengan pilihan apapun; sebagai seorang
realis, saya benar-benar tidak melihat konsep Tuhan maupun faktor
teologis lain sebagian bagian dari dunia karena Tuhan tidak bisa
diamati.”

“Saya malah berpikir bahwa ketiadaan kode moral ketuhanan di dunia ini
kemungkinan adalah satu fenomena yang paling bisa diamati” sahut sang
mahasiswa. “Surat kabar membuat milyaran dollar melaporkannya setiap
minggu! Katakan, profesor, apakah anda mengajar mahasiswa bahwa mereka
berevolusi dari kera ?”

“Jika anda mengacu pada proses evolusi alamiah, anak muda, ya, tentu
saja demikian yang saya lakukan.”

“Pernahkah anda mengamati evolusi dengan mata anda sendiri, pak ?”

Sang profesor mengertakkan gigi dan memandang sang mahasiswa dengan
tajam.

“Profesor, karena tidak seorang pun pernah mengamati berlangsungnya
proses evolusi dan bahkan tidak seorang pun dapat membuktikan proses ini
sebagai upaya berkesinambungan, bukankah anda sedang mengajarkan opini
anda, pak ?

Apakah anda sekarang bukan seorang ilmuwan melainkan pengkhotbah ?”

“Saya memaafkan kelancangan anda dalam nuansa diskusi filosofis kita.
Sudah selesaikah anda ?” desis sang profesor.

“Jadi, anda tidak menerima kode moral ketuhanan melakukan apa yang layak
?”

“Saya percaya pada apa adanya. Itulah sains !”

“Ahh! SAINS !”
wajah sang mahasiswa berubah sinis. “Pak, anda telah menegaskan bahwa
sains adalah studi mengenai fenomena pengamatan. Sains juga adalah
premis yang cacat…”

“SAINS CACAT ?”
sang profesor bergetar. Kelas menjadi gempar.

Sang mahasiswa tetap tegar berdiri hingga kegemparan mereda. “Untuk
melanjutkan point yang sudah anda nyatakan sebelumnya pada mahasiswa
lain, bolehkah saya memberi contoh tentang apa yang saya maksudkan ?”

Sang profesor diam. Sang mahasiswa memandang sekeliling kelas
ruang.”Adakah seseorang di kelas ini yang pernah melihat otak pak
profesor ?”

Kelas serentak pecah oleh tawa. Sang mahasiswa menunjuk pada sang
profesor yang sudah remuk. “Adakah orang di sini yang pernah mendengar
otak pak profesor, merasakan otak pak profesor, menyentuh, atau membaui
otak pak profesor ?”

Tampaknya tidak seorang pun pernah melakukannya. Sang mahasiswa
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih. “Tampaknya tidak
seorang pun pernah memiliki tanggapan indra apapun terhadap otak pak
profesor. Maka, sesuai aturan empiris, keajegan, protokol yang dapat
didemonstrasikan, sains, SAYA NYATAKAN bahwa bapak profesor kita tidak
punya otak !”

Kelas tercengkeram dalam chaos. Sang mahasiswa kemudian duduk… karena
memang demikianlah fungsi sebuah kursi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar